Negara Swiss, Singapura, dan
Amerika Serikat masih menjadi menyandang predikat tiga besar negara paling
berdaya saing di dunia pada tahun 2015. Sementara Indonesia menduduki posisi ke
37, atau turun dibandingkan tahun lalu. The Global Competitiveness Report
2015-2016 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan belum lama ini.
Laporan yang dilakukan terhadap
140 negara ini disusun berdasarkan 113 indikator yang memengaruhi produktivitas
suatu negara. Indikator tersebut antara lain infrastruktur, inovasi, dan
lingkungan makroekonomi. Berdasarkan laporan ini, Indonesia berada di posisi 37
dengan nilai 4,52. Posisi ini turun tiga peringkat dibandingkan tahun lalu. Dibandingkan
dengan negara-negara jiran, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia
yang berada di posisi 18, dan Thailand (32). Sementara negara ASEAN lainnya
seperti Filipina berada di posisi 47 dan Vietnam berada di peringkat 56.
Adapun sepuluh negara dengan
daya saing paling tinggi di dunia: Swiss, Singapura, Amerika Serikat, Jerman,
Belanda, Jepang, Hongkong, Finlandia, Swedia, Inggris. Sedangkan Malaysia
menduduki peringkat ke-18, Thailand (32), Indonesia (37), Filipina (47) dan
Vietnam (56). Meski demikian, peringkat Indonesia dalam survei kemudahaan
berusaha atau ease of doing business (EODB) mengalami kenaikan 11 tingkat dari
sebelumnya pada posisi 120 menjadi 109. Survei tersebut dilakukan oleh World
Bank Group terhadap 189 negara. Indonesia tercatat sebagai negara yang
konsisten melakukan reformasi EODB sejak 2007 sehingga masuk dalam 24 negara
teratas yang melakukan reformasi di tiga indikator atau lebih dari 10 indikator
yang dinilai.
"Ranking kita membaik menjadi
peringkat 109, artinya ada peningkatan 11 peringkat. Setelah kita baca secara
cepat, Indonesia termasuk dalam grup 24 performance countries,"
kata Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Tamba Hutapea kepada pers di Jakarta, kemarin. Contohnya perbaikan
layanan yang dilakukan PTSP DKI Jakarta dan Kota Surabaya yang dilakukan
setelah periode perhitungan, ini belum masuk dalam hitungan sehingga tidak ikut
masuk dampaknya dalam survey.
BKPM mencatat, setidaknya ada
dua indikator yang telah dilakukan Pemerintah namun belum dimasukkan dalam
penilaian oleh World Bank dalam EODB 2016 yakni indikator memulai usaha dan
penegakan kontrak. Salah satu yang telah dilakukan yakni terkait pemesanan nama
yang bisa dilakukan semua orang tanpa harus menggunakan notaris. Namun, karena
belum tersosialisasi secara meluas, maka belum banyak pengusaha yang tahu akan
hal tersebut, termasuk oleh responden EODB.
Secara terpisah, Riset terbaru dari
Grant Thornton International Business Report (IBR), sebuah survei yang
dilakukan kepada lebih dari 2.500 pemimpin bisnis di 36 negara, mengungkapkan
sejauh mana penularan akibat perlambatan ekonomi global menyebar ke bisnis di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut keterangan tertulis IBR, optimisme
bisnis di Indonesia turun 24% ke angka 36% di kuartal III-2015. Penurunan
tertinggi adalah pada ekspektasi pendapatan (turun dari 65% menjadi 46%), dan
ekspor (turun 7% ke minus 2%). Selain itu, penurunan juga
terjadi di investasi pada pabrik dan mesin-mesin (turun dari 25% ke 20%) dan
harga penjualan (turun dari 50% ke 46%). Hanya ekspektasi lapangan kerja yang
menunjukkan optimisme dengan kenaikan 14% ke 54%, dari angka 40% di kuartal
II-2015.
Sementara itu, Singapura tetap
merupakan tempat paling mudah untuk melakukan usaha, sementara negara-negara
berkembang meningkatkan kecepatan reformasi mereka yang ramah bisnis pada tahun
lalu, menurut laporan Bank Dunia yang dipublikasikan pekan ini. Singapura, negara
kota Asia yang dinamis, menempati peringkat teratas ramah bisnis tahun lalu
dalam laporan "Doing Business 2016": Mengukur Kualitas dan Efisiensi
Peraturan, yang mencakup 189 negara.
Hampir tidak ada perubahan dalam
laporan 10 negara teratas, menurut data disesuaikan yang menggunakan kriteria
tahun ini untuk peringkat 2015 dan 2016."Sebuah ekonomi modern tidak dapat
berfungsi tanpa regulasi dan, pada saat yang sama, itu dapat menjadi terhenti
karena peraturan yang buruk dan rumit," kata Kaushik Basu, kepala
ekonom Bank Dunia seperti dikutip Antara.
"Tantangan pembangunan
adalah menapak jalan sempit ini dengan mengidentifikasi peraturan yang baik dan
diperlukan, dan menghindari sesuatu yang menghalangi kreativitas dan menghambat
fungsi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. " Dengan menyurvei dan
memeringkat ekonomi-ekonomi, pemberi pinjaman pembangunan 188-negara berharap
bahwa "buku rapor"-nya akan mendorong regulasi yang memberikan
kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi rakyat.
Kemajuan cenderung menurun di
antara lima kekuatan "emerging-market" atau negara berkembang pesat
yang dikenal sebagai BRICS: Brazil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. Tiongkok,
ekonomi terbesar kedua di dunia, turun satu tingkat ke posisi 84. Brazil jatuh
ke posisi 116 dari 111 dan Afrika Selatan turun empat tingkat ke peringkat 73. India
maju ke peringkat 130 dari 134 tahun lalu. Dana Moneter Internasional
mengatakan dalam sebuah laporan awal pada Oktober bahwa India telah siap untuk
pertumbuhan tercepat diantara negara emerging-market tahun ini, pada 7,3
persen, sebagian berkat reformasi kebijakan.
Negara-negara berkembang memacu
reformasi Dari 189 negara yang disurvei hingga 1 Juni, Bank Dunia menemukan
perbaikan dalam kerangka regulasi di 122 dari mereka. Di antara negara-negara
berkembang, 85 melaksanakan 169 reformasi selama tahun lalu tahun, dibandingkan
dengan 154 reformasi tahun sebelumnya. Menambahkan 62 reformasi yang dilakukan
oleh negara-negara berpenghasilan tinggi, total 231 reformasi dilaksanakan,
kata laporan itu. Sub-Sahara Afrika menyumbang sekitar 30 persen dari
reformasi, diikuti oleh Eropa dan Asia Tengah.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar