Kamis, 29 Oktober 2015

Turunnya peringkat Daya Saing Indonesia

Negara Swiss, Singapura, dan Amerika Serikat masih menjadi menyandang predikat tiga besar negara paling berdaya saing di dunia pada tahun 2015. Sementara Indonesia menduduki posisi ke 37, atau turun dibandingkan tahun lalu. The Global Competitiveness Report 2015-2016 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan belum lama ini.

Laporan yang dilakukan terhadap 140 negara ini disusun berdasarkan 113 indikator yang memengaruhi produktivitas suatu negara. Indikator tersebut antara lain infrastruktur, inovasi, dan lingkungan makroekonomi. Berdasarkan laporan ini, Indonesia berada di posisi 37 dengan nilai 4,52. Posisi ini turun tiga peringkat dibandingkan tahun lalu. Dibandingkan dengan negara-negara jiran, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia yang berada di posisi 18, dan Thailand (32). Sementara negara ASEAN lainnya seperti Filipina berada di posisi 47 dan Vietnam berada di peringkat 56.

Adapun sepuluh negara dengan daya saing paling tinggi di dunia: Swiss, Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Jepang, Hongkong, Finlandia, Swedia, Inggris. Sedangkan Malaysia menduduki peringkat ke-18, Thailand (32), Indonesia (37), Filipina (47) dan Vietnam (56). Meski demikian, peringkat Indonesia dalam survei kemudahaan berusaha atau ease of doing business (EODB) mengalami kenaikan 11 tingkat dari sebelumnya pada posisi 120 menjadi 109. Survei tersebut dilakukan oleh World Bank Group terhadap 189 negara. Indonesia tercatat sebagai negara yang konsisten melakukan reformasi EODB sejak 2007 sehingga masuk dalam 24 negara teratas yang melakukan reformasi di tiga indikator atau lebih dari 10 indikator yang dinilai.

"Ranking kita membaik menjadi peringkat 109, artinya ada peningkatan 11 peringkat. Setelah kita baca secara cepat, Indonesia termasuk dalam grup 24 performance countries," kata Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tamba Hutapea kepada pers di Jakarta, kemarin. Contohnya perbaikan layanan yang dilakukan PTSP DKI Jakarta dan Kota Surabaya yang dilakukan setelah periode perhitungan, ini belum masuk dalam hitungan sehingga tidak ikut masuk dampaknya dalam survey.

BKPM mencatat, setidaknya ada dua indikator yang telah dilakukan Pemerintah namun belum dimasukkan dalam penilaian oleh World Bank dalam EODB 2016 yakni indikator memulai usaha dan penegakan kontrak. Salah satu yang telah dilakukan yakni terkait pemesanan nama yang bisa dilakukan semua orang tanpa harus menggunakan notaris. Namun, karena belum tersosialisasi secara meluas, maka belum banyak pengusaha yang tahu akan hal tersebut, termasuk oleh responden EODB.

Secara terpisah, Riset terbaru dari Grant Thornton International Business Report (IBR), sebuah survei yang dilakukan kepada lebih dari 2.500 pemimpin bisnis di 36 negara, mengungkapkan sejauh mana penularan akibat perlambatan ekonomi global menyebar ke bisnis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut keterangan tertulis IBR, optimisme bisnis di Indonesia turun 24% ke angka 36% di kuartal III-2015. Penurunan tertinggi adalah pada ekspektasi pendapatan (turun dari 65% menjadi 46%), dan ekspor (turun 7% ke minus 2%). Selain itu, penurunan juga terjadi di investasi pada pabrik dan mesin-mesin (turun dari 25% ke 20%) dan harga penjualan (turun dari 50% ke 46%). Hanya ekspektasi lapangan kerja yang menunjukkan optimisme dengan kenaikan 14% ke 54%, dari angka 40% di kuartal II-2015.

Sementara itu, Singapura tetap merupakan tempat paling mudah untuk melakukan usaha, sementara negara-negara berkembang meningkatkan kecepatan reformasi mereka yang ramah bisnis pada tahun lalu, menurut laporan Bank Dunia yang dipublikasikan pekan ini. Singapura, negara kota Asia yang dinamis, menempati peringkat teratas ramah bisnis tahun lalu dalam laporan "Doing Business 2016": Mengukur Kualitas dan Efisiensi Peraturan, yang mencakup 189 negara.

Hampir tidak ada perubahan dalam laporan 10 negara teratas, menurut data disesuaikan yang menggunakan kriteria tahun ini untuk peringkat 2015 dan 2016."Sebuah ekonomi modern tidak dapat berfungsi tanpa regulasi dan, pada saat yang sama, itu dapat menjadi terhenti karena peraturan yang buruk dan rumit," kata Kaushik Basu, kepala ekonom Bank Dunia seperti dikutip Antara.

"Tantangan pembangunan adalah menapak jalan sempit ini dengan mengidentifikasi peraturan yang baik dan diperlukan, dan menghindari sesuatu yang menghalangi kreativitas dan menghambat fungsi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. " Dengan menyurvei dan memeringkat ekonomi-ekonomi, pemberi pinjaman pembangunan 188-negara berharap bahwa "buku rapor"-nya akan mendorong regulasi yang memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi rakyat.

Kemajuan cenderung menurun di antara lima kekuatan "emerging-market" atau negara berkembang pesat yang dikenal sebagai BRICS: Brazil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia, turun satu tingkat ke posisi 84. Brazil jatuh ke posisi 116 dari 111 dan Afrika Selatan turun empat tingkat ke peringkat 73. India maju ke peringkat 130 dari 134 tahun lalu. Dana Moneter Internasional mengatakan dalam sebuah laporan awal pada Oktober bahwa India telah siap untuk pertumbuhan tercepat diantara negara emerging-market tahun ini, pada 7,3 persen, sebagian berkat reformasi kebijakan.

Negara-negara berkembang memacu reformasi Dari 189 negara yang disurvei hingga 1 Juni, Bank Dunia menemukan perbaikan dalam kerangka regulasi di 122 dari mereka. Di antara negara-negara berkembang, 85 melaksanakan 169 reformasi selama tahun lalu tahun, dibandingkan dengan 154 reformasi tahun sebelumnya. Menambahkan 62 reformasi yang dilakukan oleh negara-negara berpenghasilan tinggi, total 231 reformasi dilaksanakan, kata laporan itu. Sub-Sahara Afrika menyumbang sekitar 30 persen dari reformasi, diikuti oleh Eropa dan Asia Tengah.

Sumber :  

ekbis.sindonews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar