Banyak masyarakat yang masih keliru membedakan antara pengertian
redenominasi mata uang dan sanering. Sesungguhnya, dua kebijakan
tersebut merupakan dua hal yang sangat berbeda. Berikut penjelasan
mengenai redenominasi dan sanering.
Redenominasi berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 100.000 disederhanakan menjadi Rp 100 saja, dengan menghilangkan tiga buah angka nol yang paling belakang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.
Sementara sanering adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.
Adapun tujuan redenominasi rupiah adalah guna mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi. Sementara itu, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat harga-harga yang mengalami lonjakan.
Redenominasi berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 100.000 disederhanakan menjadi Rp 100 saja, dengan menghilangkan tiga buah angka nol yang paling belakang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.
Sementara sanering adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.
Adapun tujuan redenominasi rupiah adalah guna mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi. Sementara itu, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat harga-harga yang mengalami lonjakan.
Awalnya pemerintah dan BI berencana menjalankan tahapan redenominasi
dalam tiga bagian. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung selama
tahun 2013. Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014 hingga 2016.
Ketiga, tahap penyelesaian (phasing out) antara tahun 2017-2020.
Namun, hingga sekarang, kebijakan tersebut menjadi tidak jelas nasibnya.
Hal itu seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang tidak
stabil, ditambah dengan kondisi politik menjelang pemilu. Nah, apakah
redenominasi jadi dilaksanakan? Kita tunggu saja.
Bank Indonesia menilai butuh waktu cukup panjang minimal tujuh tahun
untuk mempersiapkan redenominasi rupiah atau penyederhanaan nilai mata
uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. "Redenominasi
itu sebenarnya sesuatu yang sederhana, tapi masalahnya ada pada pola
pikir dan psikologi masa sehingga butuh waktu mewujudkannya," kata
Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Andi Wiyana seperti
dilansir laman Antara, Ia menyampaikan hal itu saat
berdiskusi dengan rombongan wartawan ekonomi dari Padang, Sumatera Barat
bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumbar. Menurut dia,
berdasarkan pengalaman negara-negara lain butuh waktu lima sampai 12
tahun untuk dapat melakukan redenominasi. "Nilai uang sebenarnya tidak
berubah, hanya penyebutan yang berubah, ini perlu hati-hati apalagi
Indonesia terdiri atas 17 ribu pulau," , Ia mengatakan
saat diterapkan di Belanda sempat kisruh, di Polandia juga siapa yang
tidak menerapkan di penjara karena dinilai melanggar hukum. Andi menilai
mau tidak mau redenominasi harus dilakukan karena terlalu besar biaya
yang harus dikeluarkan dengan nilai mata uang saat ini. “Sekarang banyak
transaksi yang menggunakan komputer seperti transfer, belanja dan
lainnya, jika nilai mata uang semakin besar maka biaya pemeliharaan
komputer perbankan menjadi tinggi,”, Ia memberi contoh
tiket dari Jakarta ke Amerika kelas satu harganya Rp120 juta dengan
jumlah nominal angka mencapai sembilan, sementara kalau dikonversi ke
dolar amerika hanya sekitar 10 ribu dolar yang hanya lima angka. “Akan
banyak biaya yang dapat dihemat jika nominal mata uang rupiah dapat
dikurangi terutama dari aspek penggunaan komputer,”.
Kemudian, redenominasi akan menekan angka ketidaktelitian karena saat
mengetik angka Rp100 miliar risiko salahnya akan lebih besar
dibandingkan Rp100 juta. Oleh sebab itu, ini bukan masalah politik,
namun lebih kepada risiko kesalahan dan upaya mengefisienkan biaya. Ia
menambahkan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memberlakukan
redenominasi adalah ekonomi stabil, inflasi rendah sehingga akan lebih
mudah diterapkan.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Telisa Falianty
mengatakan, redenominasi bukanlah kebijakan yang sederhana seperti
membuang angka nol dari mata uang Rupiah. Menurutnya, redenominasi
merupakan kebijakan yang cukup complicated sehingga dibutuhkan kajian
yang mendalam. Redenominasi juga akan berdampak pada biaya yang akan
dikeluarkan oleh pemerintah maupun stake holder yang lain. Dia mencontohkan, jika kebijakan ini diterapkan maka pemerintah harus
menyiapkan biaya untuk mencetak uang baru dan melakukan sosialisasi.
Belum lagi dalam sektor perbankan yang harus menyesuaikan IT-nya karena
nominal yang berubah dari mata uang Rupiah. “Memang banyak pihak yang
harus menanggung biaya redenominasi ini, namun kan akan banyak pula
keuntungan yang didapat dari kebijakan redenominasi ini,” kata Telisa.
Redenominasi akan memberikan dampak positif dan
negatif. Kebijakan ini bisa menyelematkan generasi di masa yang akan
datang. Namun, redenominasi bisa mengorbankan generasi saat ini.
“Generasi yang akan datang tidak akan terkena dampak dari nilai nominal
rupiah yang membengkak,.
Dampak positif lain dari redenominasi adalah Indonesia bisa lebih
dipandang di mata dunia. Sebab, saat ini kredibilitas mata uang
Indonesia masih dianggap rendah, sehingga perlu diambil kebijakan
tersebut. Meski mendukung rencana redenomiasi, Telisa menyarankan Bank
Indonesia dan pemerintah bekerja keras untuk mempersiapkan kebijakan
itu.
Sumber :
kompas.com
http://www.neraca.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar